JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap terkait penetapan anggota DPR 2019-2024, Kamis (9/1/2020).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Wahyu menerima suap dari Politisi PDI-Perjuangan Harun Masiku yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Penetapan Wahyu sebagai tersangka ini menjadi kontradiktif dengan sikapnya beberapa waktu lalu dalam menanggapi wacana mantan narapidana korupsi ikut Pilkada.
Dari tujuh Komisioner KPU, Wahyu menjadi komisioner yang paling vokal menyuarakan larangan eks koruptor ikut Pilkada 2020 dan bersikukuh memuat larangan tersebut dalam Peraturan KPU (PKPU).
Ngotot larang eks koruptor
Saat ditemui di kantor KPU, Selasa (5/11/2019), Wahyu menegaskan pihaknya bersikukuh melarang mantan narapidana korupsi maju sebagai calon kepala daerah.
KPU tetap ingin memuat larangan tersebut dalam rancangan Peraturan KPU tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.
"Berdasarkan putusan rapat pleno KPU, KPU tetap akan mencantumkan dalam norma PKPU bahwa calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah itu harus memenuhi syarat. Salah satu syaratnya adalah bukan mantan narapidana korupsi. Itu sikap dan pandangan KPU," kata Wahyu.
Baca juga: Fakta OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan hingga Ditetapkan Sebagai Tersangka
Wahyu mengatakan, larangan eks koruptor mencalonkan diri dibuat karena pihaknya ingin Pilkada menghasilkan kepala-kepala daerah yang bersih dari korupsi.
Sebab, tanpa adanya larangan itu, KPU menilai masyarakat belum mampu memilih calon pemimpin yang terbaik.
Menurut Wahyu, sekalipun nantinya aturan tersebut tidak dimuat di Undang-undang Pilkada, ada undang-undang atau aturan lainnya yang berhubungan dengan pencegahan korupsi, yang bisa menjadi landasan PKPU larangan eks koruptor mencalonkan diri.
"Kemudian ada UU untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, itu kan juga UU, itu kan juga landasan hukum. Dalam menjalankan aturan main Pilkada, kan juga tetap berlaku UU lain yang meskipun secara tidak langsung itu mengatur KPU," ujarnya.
Baca juga: Wahyu Setiawan, Komisioner KPU Kelima yang Jadi Tersangka KPK
Wahyu menambahkan, dengan adanya undang-undang tentang pemberantasan korupsi di luar UU Pilkada, pelarangan eks koruptor maju di Pilkada menjadi sah dan bukan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
"Sebagai contoh, dalam pemilu presiden dan wakil presiden itu salah satu syaratnya calon presiden maupun cawapres itu belum pernah korupsi. (Pilkada) ini kan pemilu juga. Kalau kemudian seperti itu, apakah itu dimaksud sebagai pelanggaran HAM? kan tidak," kata Wahyu.
Bandingkan dengan pezina
Wahyu juga sempat mengatakan, seorang pezina, pemabuk, dan pejudi saja tidak diperbolehkan mencalonkan diri di Pilkada, apalagi seorang mantan napi korupsi yang daya rusak sosialnya tinggi.
"Saya tidak mengecilkan pelanggaran asusila tidak, tetapi bisa dibayangkan kalau kemudian orang yang berjudi saja terbukti bahwa dia berjudi, melanggar hukum saja tidak boleh menjadi calon, bagaimana dengan mantan korupsi. Logikanya di mana?," ucap Wahyu, Selasa (5/11/2019).
Baca juga: KPU: Kalau Pezina Saja Tak Boleh Maju Pilkada, Bagaimana Mungkin Eks Koruptor Dibolehkan?
Larangan seorang pezina, pemabuk, hingga pejudi maju sebagai calon kepala daerah tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pasal 7 huruf i Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 menyebutkan, warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota adalah yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Adapun perbuatan tercela yang dimaksud adalah judi, mabuk, pemakai atau pengedar narkoba, berzina, dan perbuatan yang melanggar kesusilaan lainnya.
Sedangkan larangan eks koruptor ikut Pilkada, kala itu, rencananya diatur KPU dalam rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.
Batal melarang
Meski sempat ngotot melarang eks koruptor maju di Pilkada, KPU pada akhirnya batal membuat larangan mantan narapidana korupsi ikut Pilkada 2020.
Semula, aturan tersebut akan dimasukkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pilkada.
Namun, berdasarkan dokumen salinan yang diterima Kompas.com, tidak satupun pasal dalam PKPU tersebut mengatur tentang larangan mantan narapidana korupsi maju sebagai calon kepala daerah.
Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, yang dilarang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Meski batal, dalam PKPU tersebut, KPU memasukkan aturan baru yang pada pokoknya meminta partai politik mengutamakan calon yang bukan mantan terpidana korupsi di Pilkada 2020.
"Diutamakan dan mengutamakan. Bahwa partai politik itu mengutakan yang bukan napi koruptor," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik saat dikonfirmasi, Jumat (6/12/2019).
Aturan tambahan tersebut dimuat dalam dua ayat, yaitu Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 3A ayat (3) berbunyi, "Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Kemudian dalam Pasal 3A ayat (4) berbunyi, "Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi"
Evi menjelaskan, nantinya, partai politik akan diminta membuat semacam pakta integritas untuk tidak akan mencalonkan mantan napi korupsi di Pilkada.
Tetapi, jika partai tetap mencalonkan eks koruptor, tidak akan membawa dampak hukum apapun.
"Sifatnya diutamakan dan mengutamakan," ujar Evi.
Ditetapkan sebagai tersangka
Sikap Wahyu terhadap mantan napi korupsi yang hendak ikut Pilkada seolah menjadi ironi setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka suap.
Wahyu menjadi tersangka karena disangkakan menerima suap dengan menjanjikan politisi PDI-P Harun Masiku agar ditetapkan menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.
Menurut Wakil Ketua KPK Lily Pintauli Siregar, Wahyu diduga meminta uang hingga Rp 900 juta ke Harun.
"Untuk membantu penetapan HAR (Harun Masiku) sebagai anggota DPR-RI pengganti antar-waktu, WSE (Wahyu Setiawan) meminta dana operasional Rp 900 juta," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis.
Baca juga: Wahyu Setiawan Diduga Minta Rp 900 Juta Urus PAW Caleg PDI-P, Sudah Cair Rp 600 Juta
Lili mengatakan, penerimaan uang tersebut dilakukan dalam dua tahap yaitu pada pertengahan Desember 2019 dan akhir Desember 2019.
"Pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana yang sedang didalami KPK memberikan uang Rp 400 juta yang ditujukan pada WSE (Wahyu) melalui ATF (mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina), DON (Doni) dan SAE (Saeful)," ujarnya.
Dari penyerahan uang itu, Wahyu telah menerima uang Rp 200 juta. Uang diterimanya dari Agustiani di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Kemudian, pada akhir Desember 2019, Harun disebut menyerahkan Rp 850 juta ke Saeful lewat seorang staf DPP PDI-P.
Saeful kemudian membagi-bagi uang tersebut kepada Agustiani dan Doni. Doni menerima uang sebesar Rp 150 juta sementara Agustiani menerima Rp 450 juta.
"Dari Rp 450 juta yang diterima ATF, sejumlah Rp 400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk WSE, Komisioner KPU. Uang masih disimpan oleh ATF," ujar Lili.
Pada Selasa (8/1/2020) kemarin, Wahyu disebut hendak meminta uang tersebut kepada Agustiani. Namun, kedunya justru dicokok KPK lewat operasi tangkap tangan.
Indonesia - Terbaru - Google Berita
January 10, 2020 at 10:56AM
https://ift.tt/305HPxy
Ironi Wahyu Setiawan: Ngotot Larang Eks Koruptor Ikut Pilkada, Sekarang Jadi Tersangka Suap - Kompas.com - Nasional Kompas.com
Indonesia - Terbaru - Google Berita
https://ift.tt/32k1zwO
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ironi Wahyu Setiawan: Ngotot Larang Eks Koruptor Ikut Pilkada, Sekarang Jadi Tersangka Suap - Kompas.com - Nasional Kompas.com"
Post a Comment